Ketika para mahasiswa Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari, Sulawesi Tenggara, “membela” para pedagang kaki lima yang terancam tergusur, mungkin saja sikap itu merupakan komitmen moral. Mereka tidak salah. Harus “membela” wong cilik yang terancam tergusur.
Mungkin pula pemerintah kota (Pemko) Kendari belum tentu juga bersalah ketika harus membuat kebijakan yang berujung pada tindakan penggusuran demi penataan fisik kota.
Semua itu wajar-wajar saja. Menjadi tidak wajar -dan patut kita kecam- lantaran masing-masing pihak tidak bisa menahan diri. Mahasiswa tidak bisa menahan diri karena tidak dapat menghindar dari adu fisik dengan polisi. Polisi juga patut dikritik karena tidak bisa menahan diri. Terpancing ulah mahasiswa, mereka juga berulah yang meminta jatuh korban -cedera fisik- di pihak mahasiswa.
Aksi massa yang berujung kerusuhan di Palu -kantor Pemko Kendari dan mobil pamong praja dibakar- adalah cermin perilaku barbar yang kehilangan akal sehat kelompok orang yang seharusnya menjadi teladan.
Polisi perlu menjadi teladan karena sebagai aparat hukum, tindakan pertama yang dilakukan pada setiap aksi kerusuhan bukanlah tindakan represif. Tindakan awal yang seharusnya dilakukan ialah persuasi yang dapat segera memulihkan tertib bermasyarakat.
Mahasiswa -meski mereka orang muda yang belum matang emosinya- pun patut dikecam keras. Sikap pembelaan kepada kelompok masyarakat yang dirugikan kebijakan pemerintah tidak seharusnya diungkapkan melalui agresi yang tidak terkendali. Tanpa akal sehat yang gagal mencegah anarki.
Benar bahwa polisi manusia juga. Benar bahwa mahasiswa insan muda yang belum matang sikap dan emosinya. Mereka bisa kehilangan kendali. Bisa lepas emosi. Marah. Atau terjerumus pada tindak kekerasan.
Masalahnya, masyarakat telah bersepakat buat menganggap bahwa baik polisi maupun mahasiswa adalah insan pilihan. Predikat utama darinya -sebagai insan pilihan- ialah moral dan akal sehat yang seharusnya menjadi teladan bagi kelompok masyarakat lain merupakan keniscayaan.
Polisi haruslah tak hanya cekatan mengejar, menangkap, dan mengeksekusi setiap pelaku tindak kejahatan. Mahasiswa tak cukup berlabel agen perubahan sebagaimana tema-tema klaim mereka sebagai garda terdepan kekuatan moral.
Inti label insan pilihan dalam masing-masing peran dan kapasitas polisi dan mahasiswa yang harus menjadi teladan publik ialah mereka menjadi contoh tertib sosial yang membuat masyarakat aman dan tenteram.
Menjadi tidak banyak gunanya jika, misalnya, baik polisi maupun mahasiswa untuk di satu pihak bekerja atas penegakan hukum dan ketertiban dan di lain pihak demi membela wong cilik, diperlihatkan dengan sikap agresi dan anarki yang menakutkan.
Tidak ada manfaatnya memiliki polisi yang “menakutkan”. Tidak ada faedahnya memiliki komunitas orang muda terpelajar yang “mengerikan.” Apalagi, dalam contoh kerusuhan di Palu, selain aksi merusak itu tak segera dapat diakhiri pada hari pertama kejadian, tapi justru memperburuk rasa takut dan mengusik rasa tenteram yang mendalam. Aksi perusakan berlanjut seperti rumah rektor Unhalu diserbu -entah pihak siapa pelakunya- dan mahasiswa menyerang sesama mahasiswa. Naif dan memalukan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Komentar:
Post a Comment