Bertetangga dengan orang kaya, maju, serba modern, ada enaknya. Namun tak enaknya lebih banyak. Itulah yang terjadi selama ini dengan Indonesia. Beberapa negara tetangga yang relatif lebih maju kerap mengganggap remeh dan rendah pada negeri besar ini. Pun pada negara sebesar ‘’upil’’ seperti Singapura. Negeri Singa itu dengan entengnya menerapkan kebijakan arogan pada orang-orang Indonesia.
Kasus terakhir adalah saat Adnan Buyung Nasution yang kini menjabat anggota Dewan Pertibangan Presiden (Wantimpres). Wantipres sendiri bisa dikatakan merupakan bentuk lain dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dulu yang menjadi salah satu lembaga tinggi negara, setara DPR dan presiden. Selain Adnan, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga mengalami kejadian tak mengenakkan di negeri jiran itu. Mereka diinterogasi 2,5 jam bak penjahat saja. Memang, Singapura akhirnya meminta maaf atas kejadian itu. Namun ini merupakan sebuah tamparan keras bagi negeri ini. Apalagi permintaan maaf pun dilakukan kurang tulus, dengan masih membela diri. Hanya karena yang menjadi sasaran adalah pejabat publik, maka ada permintaan maaf. Jika tidak, maka itu tak akan dilakukan.
Sangat sering terdengar orang-orang Indonesia yang bernama Arab seperti Abdullah, Muhammad, Abdurrahman, dan lainnya menjadi sasaran pemeriksaan yang berlebihan. Orang Indonesia, beragama Islam, lalu bernama agak Arab, harus banyak bersabar masuk Singapura. Kampanye melawan terorisme yang didengungkan Amerika Serikat (AS) telah menjadikan sekutu-sekutu Barat ini paranoid. Konon, lolosnya Mas Slamet Kastari dari penjara Singapura menambah panik aparat negeri itu. Mereka pun melakukan pemeriksaan yang jauh lebih ketat.
Sebenarnya perlakuan seperti ini bukan satu kali terjadi. Orang-orang Indonesia kerap mendapatkan perlakuan miring ketika memasuki negeri jiran ini, baik di Singapura, juga di Malaysia. Panggilan mereka pun pada orang Indonesia kerap kurang lazim-Indon-sebuah panggilan yang sebenarnya sangat menyakitkan. Selain kasus pemeriksaan identitas di Bandara, banyak lagi kasus yang menyakitkan terjadi pada anak negeri ini di Singapura.
Ada perjanjian pertahanan (DCA) yang kemudian tak tuntas. Ada juga perjanjian ektradisi, bisnis dan lainnya. Namun semuanya nyaris merugikan Indonesia. Hingga kini, misalnya, para koruptor Indonesia banyak yang melarikan diri ke Singapura. Perjanjian ekstradisi pun tidak pernah dilaksanakan. Para pengemplang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dengan nyaman melarikan diri dan bersembunyi di negeri Singa. Tak heran kalau negeri itu kemudian dikenal juga sebagai persembunyian para koruptor.
Arogansi tetangga tak hanya terjadi di Singapura. Malaysia juga melakukan hal yang sama. Namun dengan kultur yang mirip, Malaysia kadang memiliki komunikasi lebih baik. Namun ketegangan dua negera kerap tak terhindarkan. Kasus-kasus penyiksaan TKI, hingga menjadikan mereka gila atau sakit permanen masih terus saja menjadi cerita buruk para jiran.
Beberapa tahun lalu, artis Krisdayanti sempat ditahan oleh aparat imigrasi Australia. Bahkan Sang Diva sempat mendekam di dalam tahanan, mirip pesakitan dan pelaku kriminal. Mereka menganggap setiap orang Indonesia itu miskin, kere, tak punya marwah. Inilah stigma yang harus dihapus. Indonesia harus bisa berdiri tegak di depan negeri-negeri jiran yang arogan. Caranya hanya dengan menjadikan negeri ini lebih maju, kuat, dan memiliki daya tawar lebih baik. Hanya dengan begitu negeri ini tak terus-menerus dihina.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Komentar:
Post a Comment